Tampilkan postingan dengan label tazkiyatun nufus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tazkiyatun nufus. Tampilkan semua postingan

Meraih Ketenangan Hati

Seiring dengan makin jauhnya jaman dari masa kenabian Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka. Bahkan lebih dari pada itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan buruk.
Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan bermunculan (di akhir jaman) sehingga kebenaran (sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lagi terlihat kecuali (sangat sedikit) seperti cahaya yang (tampak) dari celah kedua batu (yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan tersebar (di tengah kaum muslimin), sampai-sampai jika sebagian dari perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan, orang-orang akan mengatakan: sunnah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah ditinggalkan”[2].
Keadaan ini semakin diperparah kerusakannya dengan keberadaan para tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang untuk mempromosikan dagangan bid’ah, mereka tidak segan-segan memberikan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkan ajaran bid’ah tersebut.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut, sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan semangat mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang bersumber dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau.
Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Ta’ala yang lurus. Allah Ta’ala berfirman:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).
Bahkan setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman tipu daya setan dalam diri mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).
 Sumber ketenangan dan penghilang kesusahan yang hakiki
Setiap orang yang beriman kepada Allah Ta’ala wajib meyakini bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir kepada kepada Allah Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).
Artinya: dengan berzikir kepada Allah Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[3].
Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Ta’ala[4].
Salah seorang ulama salaf berkata: “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”, maka ada yang bertanya: “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab: “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[5].
Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – : “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”[6].
Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah Ta’ala[7].
Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang di hadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[8].
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[9].
Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”[11].
Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketentraman.
Allah Ta’ala berfirman:
{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali ‘Imraan:164).
Makna firman-Nya “mensucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Ta’ala)[12].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allah I yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allah Ta’ala turunkan dari langit, karena hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allah Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…”[13].

Ketenangan Batin yang Palsu
Kalau ada yang berkata: Realitanya di lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin (?) setelah mengamalkan zikir-zikir, wirid-wirid dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya.
Jawabannya: Kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.
Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allah Ta’ala. Bahkan ini termasuk perangkap setan dengan menghiasi amalan buruk agar telihat indah di mata manusia.
Allah Ta’ala berfirman:
{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).
Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka[14].
Dalam ayat lain Dia Ta’ala berfirman:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).
Artinya: para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka[15].
Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah, yang pada hakekatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, dengan mengesankan pada mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.
Bahkan sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam ketika membaca zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala.
Padahal semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah membuat perumpaan hal ini[16] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak?
Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.
Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang kokoh kepada Allah Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaiamana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan tersebut. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa)”[17].
Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itulah (tanda) kemurnian iman”[18].
Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:
-          Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya
-          Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya[19].
Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk Allah Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ketika ada yang mengatakan kepada beliau: Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[20].

Nasehat dan Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk meyakini indahnya memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hanya dengan itulah seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang hakiki dalam kehidupannya.
Allah Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[21] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah) hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan indah)…Maka kehidupan baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[22].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Oleh: Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Catatan Kaki

[1] Lihat ucapan imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau “I’laamul muwaqqi’iin” (4/118).

[2] Dinukil oleh imam asy-Syaathibi dalam kitab “al-I’tishaam” (1/106 – Tahqiiq Syaikh Salim al-Hilali hafidhahullah).
[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).
[4] Ibid.
[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).
[6] Dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal 69).
[7] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).
[8] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 197).
[9] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[11] HSR Muslim (no. 867), an-Nasa-i (no. 1578) dan Ibnu Majah (no. 45).
[12] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).
[13] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).
[14] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 685).
[15] Lihat kitab “Ma’aalimut tanziil” (3/180).
[16] Dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 40-41).
[17] HR Ahmad (1/235) dan Abu Dawud (no. 5112).
[18] HSR Mualim (no. 132).
[19] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “al-Fawaa-id” (hal. 174).
[20] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 41).
[21] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[22] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).
»»  READMORE...

Jangan Biarkan Hati Kita Menderita Karena Hasad

BAHAYA HASAD
Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia, karena penyakit ini menyerang hati si penderita dan meracuninya, membuat dia benci terhadap kenikmatan yang telah diperoleh oleh saudaranya, dan merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.
Pada hakikatnya penyakit ini membawa si penderita kepada tidak ridha dengan qadha’ dan qadar Allah ta’ala, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah,” sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah ta’ala, karena ia (membuat si penderita) benci kepada nikmat Allah ta’ala atas hamba-Nya, padahal Allah ta’ala menginginkan nikmat tersebut untuknya, hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah ta’ala benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya, jadi hasad itu hakikatnya menentang qadha’ dan qadar Allah ta’ala” (1).
Manshur Al-Faqih berkata:

أَلَا قُلْ لِمَنْ كانَ لِيْ حاسداً        أَتَدْرِيْ عَلَى مَنْ أَسَأْتَ الأَدَب

أَسَأْتَ عَلَى اللهِ فِيْ فَضْلِهِ          إذا أَنْتَ لَمْ تَرْضَ مَا قَدْ وَهَب

Katakanlah kepada orang yang dengki kepadaku,
“tahukah kamu kepada siapa kamu tidak beradab?.
(sebenarnya) kamu tidak beradab kepada Allah ta’ala dalam pemberian-Nya
(karena) kamu tidak rela dengan apa yang telah diberikan oleh-Nya.(2)
Penyakit ini sering dijumpai di sesama teman sejabatan, seprofesi, seperjuangan, atau sederajat, oleh sebab itu tak jarang dijumpai pegawai kantor hasad kepada teman sekantornya, tukang bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang ahli ibadah atau ustadz atau kyai hasad kepada yang sederajat dengannya. Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang berbeda kedudukan dan derajatnya, jarang kita jumpai tukang bakso hasad kepada kyai atau tukang becak hasad kepada ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.
Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap muslim, karena madharatnya sangat besar, terutama bagi si penderita baik madharat dari sisi agamanya maupun dunianya. Tidakkah kita ingat kenapa Iblis dilaknat oleh Allah ta’ala? tidak lain karena sikap hasad dan sombongnya kepada Adam alaihissalam yang sama-sama makhluk Allah ta’ala.
Dari sisi lain Hasad juga merupakan sifat sebagian besar orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah ta’ala:

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ. النساء

Artinya: Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan orang-orang mukmin) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada mereka?..” (QS.Annisa’ 54).
Allah juga berfirman tentang hasad mereka:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَداً مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ . البقرة

Artinya: Sebagian besar ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran…”(QS. Al-baqarah 109).
Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang umatnya dari sifat hasad tersebut, beliau bersabda:

لاَ تَقَاطَعُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Artinya: Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta saling dengki, dan jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah ta’ala. (HR.Muslim) (3)
Allah ta’ala juga memerintahkan Rasul-Nya untuk berlindung kepada-Nya dari kejelekan orang yang hasad, firman Allah:

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ .الفلق

Artinya: (Dan katakanlah wahai Muhammad, aku berlindung kepada Tuhan yang menguasahi subuh) dari kejahatan orang yang dengki ketika dia dengki.(QS. Al-Falaq;5)
Dengan demikian telah jelas bagi kita bahwasanya penyakit hasad ini sangatlah berbahaya bagi kehidupan manusia.
SEBAB-SEBAB HASAD
Sumber dan penyebab hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan maupun pujian disisi manusia.
Dunia memang sempit, sering menyempitkan mereka yang memburu dan mencintainya, sehingga tak jarang mereka berjatuhan pada lembah hasad, karena tabiat dunia adalah tidak akan bisa dimiliki kecuali ia berpindah dari tangan satu ke tangan lainnya dan berkurang jika dibelanjakan. Berbeda dengan Akhirat, Akhirat itu luas, bak langit yang tak berujung, bak lautan yang tak bertepi, karena sangat luasnya sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya, sebagaimana kita tidak menjumpai orang berjejal-jejal untuk melihat keindahan langit di waktu malam, karena luasnya dan cakupanya terhadap setiap mata yang memandang.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “aku tidak pernah hasad kepada seorang pun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan masuk surga?, dan jika dia termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, padahal dia akan masuk neraka?” . (4)
Jika tujuan seseorang adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad, tenang, jernih bak air yang memancar dari mata air pegunungan, lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat bagi hasad didalamnya, bahkan dia senang jika melihat orang lain yang semisalnya. Akan tetapi jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan terjangkit hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu bagi mereka yang mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya dia meninggalkan cinta dunia dan menggantikannya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan akhirat tidaklah menyempitkan orang yang memburunya, ia adalah kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia, kenikmatan tersebut bisa dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari dan memburunya di dunia ini, jika seseorang tidak ingin memburu kenikmatan hakiki tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah kesatria, karena yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah para kesatria. (5)
OBAT HASAD
Setelah kita mengetahui bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya, maka tentunya kita ingin mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.
Sebenarnya penyakit hati yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan pil atau kapsul dari apotik atau dengan suntik, herbal atau pijat urat, akan tetapi penyakit hati ini hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.
Adapun obat yang pertama adalah ilmu, ilmu yang bermanfaat untuk mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri, diantaranya mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita baik bagi agamanya maupun dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya, bagaimana tidak? dia membenci orang lain yang mendapatkan kenikmatan dan mengharap nikmat tersebut musnah darinya, padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah ta’ala dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.
Sebagian Ahli Hikmah berkata, “Empat orang yang senantiasa berkubang dalam kesedihan, pertama; pemarah, kedua; orang yang hasad, ketiga; teman para penyair yang tidak bisa seperti mereka, keempat; orang yang bijaksana yang diremehkan manusia”. (6)
Orang yang hasad ibarat orang yang melempar bumerang kepada musuh, akan tetapi tidak mengenai sasaran, bahkan bumerang itu kembali kepadanya dan mengenai mata kanannya sampai mengeluarkan bola matanya, lalu dia pun bertambah marah dan kembali melempar kedua kalinya dengan lebih kuat, akan tetapi, bumerang itu seperti semula, tidak mengenai sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia buta, kemarahannya pun bertambah menyala-nyala, kemudian dia melempar ketiga kalinya dengan sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut kembali
mengenai kepalanya sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan mentertawakan dia, karena dia mati sebab perbuatannya sendiri. Sedangkan di akhirat nanti, dia akan mendapat adzab dari Allah ta’ala, jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan perbuatan, karena statusnya adalah orang yang telah mendzalimi orang lain ketika di dunia.
Perlu diketahui pula bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang dihasad, baik bagi agamanya maupun dunianya, dia tidak berdosa dengan hasad orang lain kepadanya. Bahkan dia mendapatkan pahala jika hasad tersebut keluar berwujud perkataan dan perbuatan, sebab dia termasuk orang yang didzalimi. Kenikmatan yang ada padanya juga tidak akan musnah karena hasad orang lain kepadanya, sebab kenikmatan tersebut telah ditakdirkan untuknya.
Adapun obat kedua adalah amal perbuatan, amal perbuatan yang manjur untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; jika hasad membuat anda ingin mencela dan meremehkan orang lain, maka hendaknya anda melakukan hal yang berbeda yaitu memuji orang tersebut. Kemudian jika hasad itu membuat anda sombong kepadanya, maka hendaknya anda tawaddu’ kepadanya. Jika hasad membuat anda tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepadanya, maka hendaknya anda melakukan sebaliknya yaitu berbuat baik dan memberikan hadiah kepadanya (7). Dengan seperti ini -insya Allah- hasad dihati akan lenyap dan hati kembali sehat dan normal.
HASAD YANG DIPERBOLEHKAN?
Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya, apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan?, jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. متفق عليه

Artinya: Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang, yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah ta’ala dan ia habiskan dijalan yang benar, yang kedua; kepada seseorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah ta’ala dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya. (HR.Muttafaq alaih) . (8)
Akan tetapi hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan diatas, hasad yang ini disebut oleh para ulama’ dengan sebutan Ghibtah yaitu menginginkan kenikmatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa benci kepada orang tersebut, serta tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.
Syeikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad hafidzahullah dalam menjelaskan hadits diatas berkata; “yang dimaksud hasad disini adalah ghibtah”. (9)
Imam An-nawawi rahimahullah mengatakan, “ghibtah adalah ingin mendapat kenikmatan sebagimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubah (boleh), jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (sunnah), dan makna hadits diatas adalah tidak ada ghibtah yang dicintai (oleh Allah) kecuali pada dua perkara (yang tersebut diatas) dan yang semakna dengannya”. (10)
Dengan demikian, hendaknya seorang muslim senantiasa membersikan hatinya dari penyakit hasad dan menggantinya dengan ghibtah.
Waffaqanallahu waiyyakum lima yuhibbuhu wayardhaah.


Sumber Rujukan


(1) Al-Fawa’id (Hal 157   Cet. Darul Fikr – Beirut).
(2) Nihayatul Arab Fi Fununil Adab ( Juz 3/ Hal 267   Cet.1 Darul kutub al-ilmiyah – Beirut – Lebanon).
(3) Shahih muslim ( Juz 8/ Hal 10).
(4) Raudhatul Uqala’ Wanuzhatul Fudhala’ (Hal. 119    Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut).
(5) Mukhtashar Minhajul Qasidin (Hal.188-189   Cet. Maktabah darul Bayan – Damaskus) bittasharruf.
(6) Raudhatul Uqala’ Wanuzhatul Fudhala’ (Hal. 122   Cet. Maktabah Ash-riyah – Beirut).
(7) Mukhtashar minhajul Qashidin (Hal. 189-190  Cet. Maktabah darul Bayan – Damaskus) bittasharruf.
(8) Shahih Bukhari ( No. 6886   Cet.3 Dar Ibnu Katsir – Beirut. Tahqiq Dr..Mushtafa Dibul bugha) Shahih Muslim ( No. 1933  Cet. Darul jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah – Beirut).
(9) Syarah Sunan Abu Dawud, hadits “Iyyakum walhasada” (Maktabah Syamilah 3).
(10) Al-minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnul Hajjaj (Juz. 6/ Hal. 97. Cet.2 – Dar Ihya’ Turats Al-Arabi – Beirut).
»»  READMORE...

Ketika Malaikat Maut Datang Menjemput

Saudaraku! Anda masih ingat detik-detik ketika kakek, atau nenek, atau mungkin ayah, ibunda, atau mungkin juga istri atau suami tercinta meregang nyawanya? Pernahkah anda bertanya dan berpikir apakah yang mereka rasakan ketika ruh mereka meninggalkan raganya?
Agar anda dapat menerka apa yang mereka rasakan kala itu, coba anda kembali mengingat raut wajah mereka ketika detik-detik terakhir sebelum meninggal dunia.
Tahukah saudara! Apa yang dialami oleh ayahanda atau kerabat anda saat itu? Tahukah saudara, dengan siapa ia berhadapan? Berikut inilah kejadian yang dialami oleh ayahanda atau ibunda atau kerabat anda kala itu (Kisah ini dituturkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Ibnu Majah),


إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِى انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلاَئِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِى إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ – قَالَ – فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِى السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِى يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِى ذَلِكَ الْكَفَنِ وَفِى ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ – قَالَ – فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلاَ يَمُرُّونَ – يَعْنِى بِهَا – عَلَى مَلأٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوا مَا هَذَا الرُّوحُ الطَّيِّبُ فَيَقُولُونَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِى كَانُوا يُسَمُّونَهُ بِهَا فِى الدُّنْيَا

Sesungguhnya bila seorang yang beriman hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh sekelompok malaikat dari langit. Wajah mereka putih bercahaya bak matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Selanjutnya mereka akan duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut. Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk didekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang baik, bergegaslah keluar dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah”. Segera ruh orang mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangan Malaikat Maut. Para malaikat segera mengambil ruh orang mukmin itu dan membukusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah mereka bawa dari surga. Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum, bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang pernah ada di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya, “Ruh siapakah ini, begitu harum.” Malaikat pembawa ruh itupun menjawab, “Ini adalah arwah Fulan bin Fulan” (disebut dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya).
Saudaraku! Walau demikian mudah arwah orang mukmin keluar dari raganya, akan tetapi bukan berarti bebas dari rasa sakit! Sekali-kali tidak.
Adakah keraguan pada diri anda bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang mukmin yang paling sempurna keimanannya? Akan tetapi kemulian dan kesempurnaan iman beliau tidak dapat melindungi beliau dari rasa pedihnya sakaratul maut.  Oleh karena itu, tatkala beliau menghadapi sakaratul maut, beliau begitu gundah. Beliau berusaha menenangkan dirinya dengan mengusap wajahnya dengan tangannya yang telah dicelupkan ke dalam bejana berisi air. Beliau mengusap wajahnya berkali-kali, sambil bersabda,
(لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ (رواه البخاري
Tiada Tuhan Yang berhak diibadahi selain Allah. Sesungguhnya kematian itu disertai oleh rasa pedih.” Riwayat Imam Bukhari.
Pada suatu hari sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Ka’ab Al Ahbaar,

يا كعب حدثنا عن الموت، قال: يا أمير المؤمنين غصن كثير الشوك يدخل في جوف الرجل فتأخذ كل شوكة بعرق يجذبه رجل شديد الجذب، فأخذ ما أخذ، وأبقى ما أبقى
 .
Wahai Ka’ab: Ceritakan kepada kita tentang kematian!. Ka’abpun berkata: Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan anda, sehingga setiap duri menancap di setiap syarafnya. Selanjutnya dahan itu sekonyong-konyong ditarik dengan sekuat tenaga oleh seorang yang gagah perkasa. Bayangkanlah, apa yang akan turut tercabut bersama dahan itu dan apa yang akan tersisa!” Riwayat Abu Nu’aim Al Asfahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’.

شداد بن أوس الموت افظع هول في الدنيا والآخرة على المؤمن وهو أشد من نشر بالمناشير وقرض بالمقاريض وغلي في القدور. ولو أن الميت نشر فأخبر أهل الدنيا بالموت ما انتفعوا بعيش ولا لذوا بنوم

Syaddaad bin Al Aus berkata, “Kematian adalah pengalaman yang paling menakutkan bagi seorang mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat. Kematian itu lebih menyakitkan dibanding anda digergaji, atau dipotong dengan gunting, atau direbus dalam periuk. Andai ada seseorang yang telah mati diizinkan untuk menceritakan tentang apa yang ia rasakan pada saat menghadapi kematian, niscaya mereka tidak akan pernah bisa menikmati kehidupan dan juga tidak akan pernah tidur nyenyak.
Bila demikian dahsyatnya rasa sakit yang menimpa seorang mukmin ketika menghadapi sakaratul maut, maka bagaimana dengan diri Anda? Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang menodai lembaran amal Anda? Anda ingin tahu bagaimana rasanya sakarutul maut bila anda tidak segera bertaubat dari kemaksiatan dan beristiqamah dalam ketaatan? Simaklah kelanjutan hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah di atas,

وَإِنَّ الْعَبْدَ الْكَافِرَ وفي رواية وَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ السُّوءُ إِذَا كَانَ فِى انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مِنَ السَّمَاءِ مَلاَئِكَةٌ سُودُ الْوُجُوهِ مَعَهُمُ الْمُسُوحُ فَيَجْلِسُونَ مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيثَةُ اخْرُجِى إِلَى سَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَغَضَبٍ – قَالَ – فَتُفَرَّقُ فِى جَسَدِهِ فَيَنْتَزِعُهَا كَمَا يُنْتَزَعُ السَّفُّودُ مِنَ الصُّوفِ الْمَبْلُولِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِى يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَجْعَلُوهَا فِى تِلْكَ الْمُسُوحِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلاَ يَمُرُّونَ بِهَا عَلَى مَلأٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوا مَا هَذَا الرُّوحُ الْخَبِيثُ فَيَقُولُونَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ بِأَقْبَحِ أَسْمَائِهِ الَّتِى كَانَ يُسَمَّى بِهَا فِى الدُّنْيَا .رواه أحمد وابن ماجة وصححه الألباني

Bila orang kafir, pada riwayat lain: Bila orang jahat hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh sekelompok malaikat dari langit. Mereka berwajahkan hitam kelam, membawa kain yang kasar, dan selanjutnya mereka duduk darinya sejauh mata memandang. Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk didekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang buruk, bergegaslah engkau keluar dari ragamu menuju kepada kebencian dan kemurkaan Allah”. Segera ruh orang jahat itu menyebar keseluruh raganya. Tanpa menunda-nunda malaikat maut segera mencabut ruhnya dengan keras, bagaikan mencabut kawat bergerigi dari bulu domba yang basah. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat Maut menyambutnya.
Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangannya. Para malaikat segera mengambil ruh orang jahat itu dan membukusnya dengan kain kasar yang mereka bawa. Dari kain itu tercium aroma busuk bagaikan bau bangkai paling menyengat yang pernah tercium di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruh itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi sekelompok malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: “Ruh siapakah ini, begitu buruk.” Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terburuk yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya).”
Saudaraku! Coba anda ingat kembali, rasa pedih dan sakit yang pernah anda rasakan ketika tertusuk atau tersengat api! Sangat menyakitkan bukan? Padahal syaraf yang merasakan rasa sakit hanyalah sebagiannya. Walau demikian, rasanya begitu menyakitkan, sehingga susah untuk dilupakan?
Nah bagaimana halnya bila kelak pada saat sakaratul maut seluruh syaraf anda merasakan sakit. Disaat ruh anda berusaha berpegangan erat-erat dengan setiap syaraf anda sedangkan Malaikat Maut mencabutnya dengan keras dan kuat. Betul-betul menyakitkan.
Penampilan Rasa Malaikat Maut yang begitu seram dan menakutkan akan semakin menambah pedih rasa sakit yang anda rasakan.
Saudaraku! Siapkah anda menjalani pengalaman yang begitu menakutkan dan begitu menyakitkan?
Bila saudara tidak kuasa menjalani sakaratul maut yang sangat menyakitkan seperti ini, maka mengapa noda-noda maksiat terus mengotori lembaran amal dan menghitamkan hati anda? Mengapa kaki anda terasa kaku, tangan serasa terbelenggu, mata seakan melekat dan pintu hati seakan terkunci ketika ada seruan beribadah kepada Allah?
Saudaraku! Agar hati anda kembali menjadi lunak dan pintu hati anda terbuka lebar-lebar untuk menerima dan mengamalkan kebenaran, maka alangkah baiknya bila anda sering-sering berziarah ke kuburan. Dengan berziarah ke kuburan, diharapkan anda akan senantiasa menyadari, cepat atau lambat anda pasti menjadi salah seorang dari penghuni kuburan.

 (زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ (رواه مسلم

“Berziarahlah ke kuburan, karena ziarah ke kuburan itu dapat mengingatkan kalian akan kematian.” Riwayat Muslim.

Saudaraku! Ada satu pertanyaan yang tidak mungkin anda temukan jawabannya sebelum anda mengalaminya sendiri: Termasuk golongan manakah diri anda, apakah termasuk golongan orang-orang mukmin yang dimudahkan ketika menghadapi sakaratul maut ataukah termasuk golongan yang kedua?
Karenanya, marilah kita berjuang, dan berdoa memohon kepada Allah agar diri kita –dengan rahmat dan kemurahan Allah- dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang mendapatkan keteguhan dan kemudahan ketika menghadapi Malaikat Maut. Amiin.
»»  READMORE...

Renungan di Balik Rangkaian Musibah ( 1 )

Bermacam cobaan dan bencana silih berganti menimpa negeri kita tercinta ini. Di awali dari kesemerautan ekonomi dan politik, datang banjir yang menenggelamkan, diikuti oleh kekeringan dan hama yang menggagalkan panen, dilajutkan dengan flu burung dan flu babi, diselingi oleh gempa dan banjir bandang, disusul tsunami, serta letusan gunung api.  Yang mengakibatkan ribuan nyawa melayang dan jutaan harta benda menghilang.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah musibah-musibah tersebut dapat memberikan kesadaran pada diri kita masing-masing. Masihkah belum cukup untuk kita berpikir dan mengambil ‘ibroh dari segala kejadian tersebut? Ataukah kita masih saling menyalahkan, bahkan kita mengira bahwa semua bencana tersebut disebabkan oleh dosa orang lain. Adapun diri kita sendiri tidak pernah bersalah dan tidak pernah berdosa. Atau kita sependapat dengan pandangan dan anggapan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah. Mereka mengira semua itu hanyalah semata gejala alami yang tidak perlu dipikirkan dan direnungkan?
Kita mengeluh kemiskinan melanda negeri kita tapi parabola menjamur di atas gubuk-gubuk yang hapir reok! Kita mengeluh atas tersebarnya berbagai maksiat di tengah-tengah masyarakat, tapi berbagai media informasi menampilakan acara yang berbau porno dan sex (yang diperhalus dengan istilah pornoaksi dan pornografi), yang kesemuanya disantap oleh anak-anak di bawah umur sampai kakek-kakek yang lanjut usia.
Kerusakan tidak hanya sampai di situ, bahkan sampai kepada titik memperolok-olokan agama, menghujat Allah, memutarbalikkan pengertian ayat-ayat Al Qur’an, membikin model ibadah-ibadah baru dan seterusnya. Yang seharusnya pelakunya mendapat hukuman, justru sebaliknya mendapat sanjungan sebagai intelektual dan segudang sanjungan lainnya.
Sangat nyata apa yang dikatakan Allah dalam firmannya,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah muncul kerusakan di darat dan di laut dengan sebab ulah perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagaian (dari) akibat perbuatan mereka, agar Mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Ruum: 41).
Dalam Al-Qur’an berulang kali Allah menceritakan tentang kaum-kaum yang dibinasakan. Supaya umat manusia mengambil ‘ibrah dan pelajaran dari kisah mereka tersebut. Mengapa mereka ditimpa azab dan bencana? Apakah karena mereka miskin? Atau karena tidak punya angkatan perang yang cukup? Atau karena sistem politik dan ekonomi mereka  yang lemah? Atau karena hal lain yaitu karena kufur kepada Allah, tidak mau bersyukur kepada Allah, serta menolak kebenaran yang diturunkan Allah?
Dalam kesempatan ini kita mencoba merenungkan dan memetik pelajaran di balik berbagai bencana dan musibah tersebut:
1. Renungan pertama: Bencana adalah buah dosa perbuatan manusia.
Allah tidak akan membinasakan suatu negeri melainkan karena kezaliman telah merajalela di tengah-tengah kehidupan mereka., baik terhadap diri mereka sendiri, maupun terhadap orang lain.
Allah berfirman,
وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan Kami tidak pernah menghacurkan berbagai nergeri kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (Q.S. Al-Qashash: 59).
Jika kita mencoba melihat diri kita masing-masing sungguh amat banyak kezaliman yang kita perbuat di muka bumi Allah ini.
Di awali dengan kezaliman kepada Allah, dengan berbagai pratik kesyirikan; mulai dari jimat, tumbal, mempercayai benda-benda mati memiliki kekuatan sakti seperti batu, keris, dan lain-lain. Mendatangi dukun atau kuburan demi mencari berkah atau kesembuhan penyakitnya.
Demikian pula kezaliman di tengah masyarakat kita, maksiat semakin menjadi-jadi, seperti; perzinaan, pembunuhan, perampokan, perjudian, penipuan  dan seterusnya.
Berbagai macam nikmat yang diberikan Allah, kita manfaatkan untuk durhaka pada-Nya mulai dari mata, telinga dan lidah kita pergunakan untuk hal yang haram, untuk film-film, nyanyi-nyanyian dan berkata bohong.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga menerangkan dalam sabdanya bahwa bencana adalah buah dari sebuah dosa,
عن أبي موسى رضي الله عنه أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال لا يصيب عبدا نكبة فما فوقها أو دونها إلا بذنب وما يغفو الله عنه أكثر قال وقرأ
{وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفو عن كثير}
“Tidaklah seorang hamba ditimpa sebuah bencana baik besar maupun kecil kecuali dengan sebab dosa, dan apa yang dimaafkan Allah jauh lebih banyak” (H.R. At-Tirmizi, no. 3252), kemudian beliau membaca firman Allah,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kamu, maka adalah dengan sebab usaha tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu”. (Q.S. Asy Syura: 30).
Mulai dari rumah yang kita huni, lalu pakaian yang kita miliki, sampai makanan yang kita konsumsi bersumber dari usaha yang haram. Mungkin  dari hasil rampokan, pembunuhan, pelacuran, korupsi, kolusi, judi, penjualan CD porno, sogok, atau hasil tipuan lainnya. Itulah diri kita, apakah kita tidak pantas untuk diazab?
Bagaimana Allah akan mengabulkan doa kita, sementara keadaan kita selalu bergelimang dengan segala hal yang haram? Perhatikanlah ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengisahkan seorang yang menemui kelelahan dalam perjalanan yang panjang, dalam kondisi seluruh tubuhnya di penuhi debu, lalu dia menngangkat kedua telapak tangannya ke langit sambil berdoa, ”Ya Tuhanku, Ya Tuhanku.” Lalu, Nabi shallallahu ’alaihi wa salalm berkata, “Bagaimana Allah akan mengabulkan doanya, sedangakan makanannya dari yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dia dibesarkan dari yang haram?” (H.R. Imam Muslim, no. 1015).
Dari hadits di atas, jelas sekali bagaimana akibat dari menikmati sesuatu yang haram, sekalipun dia dalam kondisi yang sangat membantu supaya dikabulkan doanya. Karena dalam sebuah hadits lain disebutkan bahwa doa musafir itu terkabul sekali, tapi ada hal yang menghalanginya yaitu memakan harta yang haram. Kisah di atas bisa untuk membandingkan dan menilai kondisi kita.
Maka, tatkala manusia melupakan peringatan-peringatan Allah dan mereka benar-benar telah tenggelam dalam kesesatan dan kemaksiatan, Allah membuka pintu-pintu kesenangan duniawi untuk mereka dengan seluas-luasnya. Lalu Allah menurunkan azab kepada mereka secara tiba-tiba.
Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Q.S. Al-An’am: 44).
Berulang kali Allah menceritakan tentang umat-umat yang dibinasakan dalam Al Qur’an, agar kita mengambil ‘ibrah dan pelajaran dari kisah mereka, mengapa mereka ditimpa azab dan bencana? Apakah karena mereka tidak memiliki alat pendeteksi bencana? Atau karena hal lain yaitu karena durhaka kepada Allah, tidak mau bersyukur kepada Allah, serta melalaikan kebenaran yang diturunkan Allah?
Allah berfirman,
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُونِ مِنْ بَعْدِ نُوحٍ وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Al-Isra’: 16-17).
Dan Allah tegas lagi dalam firman-Nya,
أَلَمْ نُهْلِكِ الْأَوَّلِينَ (16) ثُمَّ نُتْبِعُهُمُ الْآَخِرِينَ (17) كَذَلِكَ نَفْعَلُ بِالْمُجْرِمِينَ
“Bukankah Kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu?  Kemudian Kami perlakukan  (azab Kami terhadap) merek ) akan orang-orang yang datang kemudian”. Demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang yang berdosa.” (Q.S. Al-Mursalaat: 16-18).
Berbagai macam bentuk azab telah Allah turnkan pada umat-umat yang terdahulu. Di antara mereka ada yang dihujani batu kerikil, dan ada pula yang diazab dengan suara keras yang memekakkan telinga, dan ada pula yang dibenamkan kedalam bumi hidup-hidup, dan ada pula yang tenggelam dalam lautan.
Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya,
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Q.S. Al-Ankabut: 40).
Allah tidak mengazab kita dengan segala dosa yang kita perbuat, akan tetapi hanya sebagian kecil dari balasan dosa kita. Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya,
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِم مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِن دَآبَّةٍ وَلَكِن يُؤَخِّرُهُمْ إلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Jikalau Allah menyiksa manusia (sesuai) dengan kezaliman mereka, niscaya tidak akan tertinggal di atas permukaan bumi ini satupun dari binatang yang melata, tetapi Allah menagguhkan (penyiksaan) mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba (waktu yang ditentukan), mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya”. (Q.S. An-Nahl: 61).
Allah masih memberi kesempatan dan waktu kepada kita untuk bertaubat, untuk kembali kepada jalan yang benar, apakah kita akan menunda-nunda taubat itu, sampai azab Allah yang lebih besar lagi datang kepada kita? Mari kita simak firman Allah berikut,
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ وَلَكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيراً
“Dan jikalau Allah mennyiksa manusia dengan segala apa yang mereka usahakan, niscaya tidak akan tertinggal di atas permukaan bumi ini satupun dari binatang yang melata, tetapi Allah menagguhkan (penyiksaan) Mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Maka, apabila telah tiba (waktu yang ditentukan), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Faathir: 45).
Azab Allah bisa datang kapan saja, mungkin diwaktu malam hari saat kita tidur nyenyak, atau diwaktu pagi hari saat kita sedang sibuk bekerja atau sedang santai bermain-main.
Sebagaimana Allah berfirman,
أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتاً وَهُمْ نَآئِمُونَ. أَوَ أَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ. أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ.
“Maka apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari kedatangan siksaan Kami di malam hari diwaktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari kedatangan siksaan Kami pada waktu duha ketika mereka sedang bermain-main? Atau apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari ancaman azab Allah (yang tampa diduga-duga)? Tidaklah yang merasa aman dari ancaman azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-A’raaf: 96-99).

Maka dari itu, janganlah kita melalaikan kesempatan yang masih diberikan Allah kepada kita untuk menata hari esok kita dengan bertaubat dan beramal sholeh. Sebab tidak seorangpun diantara kita yang mengetahui dimana dan kapan ajalnya datang.

-bersambung insya Allah-
»»  READMORE...

Di Mana Air Mata Mu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; [1] seorang pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala, [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan kerkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])

Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.

Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan; suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).

Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).

Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.

al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”

Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.

Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”

Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah! Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salafi, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74).

Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlagis salaf? Ya akhi, jadilah salafi sejati!

Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
»»  READMORE...

KENAPA TERJADI BENCANA??

Segala puji hanya milik Allah subhanahu wata’ala, dzat yang wajib disembah. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada penghulu manusia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam, keluarganya, shahabatnya dan mereka yang meniti jejaknya dengan baik hingga akhir zaman.

Beberapa tahun ini bangsa Indonesia dirundung duka dengan datangnya musibah yang bertubi-tubi dari mulai Tsunami di Aceh ratusan ribu nyawa melayang, kemudian banjir yang silih berganti, belum lagi teror bom yang membuat bulu kuduk berdiri, dan akhir-akhir ini gempa bumi mengguncang hampir di seluruh bumi Indonesia yang tidak sedikit nyawa menjadi korban dan berapa banyak kerugian materi yang hilang, belum lagi adanya krisis global yang membuat pontang panting perekonomian dunia, seharusnya semua itu menjadi bahan perenungan yang membuat kita sadar dan semakin mendekatkan diri kepada Allah, dan manusia yang cerdik adalah manusia yang bisa mengambil pelajaran dari musibah orang lain sementara manusia pandir adalah orang yang baru bisa mengambil pelajaran setelah dirinya terkena musibah.

Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh berkata: Pada saat angin bertiup kencang dan masuk ke dalam rongga bumi maka akan menimbulkan gas panas lalu melahirkan tekanan angin namun karena angin tersebut tidak terhambat maka terkadang Allah subhanahu wata’ala mengizinkan bernafas maka terjadilah gempa besar. Maka demikian itu agar tumbuh pada hamba Allah rasa takut, inabah, melepaskan dirinya dari maksiat, berserah diri kepada-Nya dan menyesali segala dosa-dosanya, oleh karena itu sebagian ulama salaf berkata: “pada saat terjadi gempa bumi berarti Rabbmu telah menegur kalian”. Ketika terjadi gempa bumi maka Umar bin Khaththab radhiyallohu’anhu berkhutbah dan menasehati kaum muslimin dengan berkata: “Jika terjadi gempa bumi lagi maka aku tidak mau tinggal bersama kalian di tempat ini (Madinah)”.

Tidaklah musibah menimpa suatu negeri melainkan sebagai bentuk peringatan terhadap kedzaliman yang mereka lakukan sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (Huud: 102).

Sikap dzalim dan melampaui batas tersebut tumbuh akibat bangga dengan kekayaan, sombong dengan status dunia dan melupakan bimbingan agama serta petuah para ulama sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (al-An’am: 44-45).

Musibah bisa menimpa siapa saja karena kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan, kefasikan dan kemaksiatan yang ditebarkan di muka bumi sehingga Allah ta’ala memberikan peringatan, dengan firman-Nya:
Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan Apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya, dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)? (al’Araaf: 97-100)

Dan Allah ta’ala berfirman:
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (al-Isra’:16).

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam juga mengabarkan dalam sabdanya:
Akan terjadi lima bencana yang akan menimpa kalian dan Aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak mendapatinya; tidaklah kekejian (zina) menyebar di suatu negeri melainkan Allah akan menimpakan penyakit wabah dan thaun yang belum pernah terjadi pada umat sebelumnya; tidaklah mereka menghalangi zakat malnya melainkan Allah akan menahan hujan turun dari langit, kalau bukan karena hewan ternak maka tidak akan diturunkan hujan kepada mereka; tidaklah mereka gemar mengurangi takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa musibah paceklik, kesulitan ekonomi dan jahatnya para penguasa; tidaklah mereka melanggar janji Allah dan janji Rasul-Nya melainkan Allah akan menguasakan atas mereka para penjajah dan merampas sebagian dari kekayaan mereka dan tidak para pemimpin mereka tidak berhukum dengan Kitabullah dan tidak memilih hukum terbaik dari-Nya melainkan umatnya dirundung konflik terus menerus. (H.R Ibnu Majah).

Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasalam juga menegaskan:
Jika umatku menghalalkan lima perkara maka tunggulah kehancuran merata, bila mereka saling kutuk mengutuk, meminum khamer, memakai sutra, lelaki cukup dengan lelaki dan perempuan cukup dengan perempuan. (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).

Maka tidak ada solusi dan jalan keluar yang paling tepat kecuali menegakkan syariat, menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam dan bertaubat kepada Allah ta’ala sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):
Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. (al-Anfaal: 33)
Di antara mufassirin mengartikan yastagfiruuna dengan bertaubat dan ada pula yang mengartikan bahwa di antara orang-orang kafir itu ada orang Muslim yang minta ampun kepada Allah.

Oleh karena itu, semua umat harus ikut serta memberantas kedzaliman, kemunkaran dan kemaksiatan kalau tidak maka Allah akan menghancurkan orang-orang shalih bersama dengan orang-orang yang jahat dan dzalim sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (al-Anfaal: 25)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Sekali-kali jangan! Demi Allah , sungguh hendaklah kalian menyuruh kepada yang ma’ruf mencegah dari yang munkar dan sungguh hendaklah kalian menahan tangan orang dzalim mengembalikannya kepada yang haq dan menahannya pula kepada yang haq atau (kalau tidak) maka Allah akan menutup hati kalian dan melaknat kalian sebagaimana Dia telah melaknat mereka.”

Di dalam shahih Muslim ada riwayat dari Zaenab binti Jahsy, dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam:
“Wahai Rasulullah, apakah kami akan celaka (disiksa) sedangkan dikalangan kami terdapat orang-orang shalih? Beliau menjawab:”Ya, apabila kemaksiatan banyak dilakukan orang.”

Dalam shahih At-Tirmidzi ada hadits:
“Sesungguhnya orang-orang, apabila mereka melihat ada orang yang berbuat dzalim tapi mereka tidak menahan tangannya, maka Allah akan menimpakan siksa-Nya kepada mereka.”

Dalam Shahih Al-Bukhari dan At-Tirmidzi terhadap hadits riwayat An-Nu’man bin Basir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam, beliau bersabda:
“Perumpamaan orang yang teguh dalam menjalankan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang terjerumus di dalamnya adalah bagaikan sekelompok orang yang membagi tempat di dalam perahu ada yang mendapat tempat di atas dan yang memperoleh tempat di bawah. Sedang yaang dibagian bawah bila mereka membutuhkan air minum maka harus naik ke atas, maka mereka yang di bawah berkata: Lebih baik kami melobangi tempat di bagian kami ini, supaya tidak mengganggu kawan-kawan di atas. Maka jika mereka yang di atas membiarkan kawan-kawan mereka yang dibawah, pasti binasalah semua orang yang ada di dalam perahu itu, tetapi apabila mereka mencegahnya maka semuanya akan selamat.”

Demikian sekilas penjelasan tentang pentingnya amar ma’ruf nahi munkar karena demikian itu mampu menangkal bencana. Dan semoga kita semua diselamatkan dari marabahaya dan musibah di dunia dan akhirat.
(sumber: Ustadz Zainal Abidin, Lc)
Footnote:
1. Lihat Miftah Darus Saadah, 1/ 265.
»»  READMORE...

Sudah Terujikah Iman Kita?

BILA kita sudah menyatakan iman dan kita mengharapkan manisnya buah iman yang kita miliki yaitu surga, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal” (Al-Kahfi :107)
Maka marilah kita bersiap-siap untuk menghadapi ujian berat yang akan diberikan Allah kepada kita. Dan bersabarlah kala ujian itu datang kepada kita. Allah memberikan sindiran kepada kita yang ingin masuk surga tanpa melewati ujian yang berat.
“Apakah kalian mengira akan masuk surga sedangkan belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya. Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (Al-Baqarah : 214).
Cobalah kita renungkan, apa yang telah kita lakukan untuk membuktikan keimanan kita? Cobaan yang telah kita alami dalam mempertahankan iman kita? Apa yang telah kita korbankan untuk memperjuangkan aqidah dan iman kita?
Bila kita memperhatikan perjuangan Rasulullah SAW dan orang-orang terdahulu dalam mempertahankan iman mereka dan betapa pengorbanan mereka dalam memperjuangkan iman mereka. Mereka rela mengorbankan harta mereka, tenaga mereka, pikiran mereka, bahkan nyawa pun mereka korbankan untuk itu. Rasanya iman kita ini belum seberapa atau bahkan tidak ada artinya dengan iman mereka.
Apa kita tidak malu meminta balasan dari Allah, sementara pengorbanan kita sedikitpun belum ada? Ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah berbeda-beda.
Dan ujian dari Allah bermacam-macam bentuknya. Setidaknya ada empat macam ujian yang telah dialami para pendahulu kita:Yang Pertama, ujian yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan. Seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam untuk menyemblih putranya yang sangat ia cintai.
Ini adalah satu perintah yang betul-betul berat dan mungkin tidak masuk akal. Bagaimana seorang bapak harus menyemblih anaknya yang sangat dicintai. Padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan:
“Sesungguhanya ini benar-benar suatu uijan yang nyata” (Ash- Shaffat : 106)
Dan di sini kita melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim Alaihissalam yang benar-benar sudah tahan uji. Sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah yang sangat berat itu dijalankan.
Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim dan putranya adalah pelajaran yang sangat berat dan sangat berharga bagi kita. Perlu kita tauladani karena sebagaimana yang kita rasakan dalam kehidupan kita banyak sekali perintah Allah yang dianggap berat dan dengan berbagai alasan kita berusaha untuk tidak melaksanakannya. Sebagai contoh Allah telah memerintahkan kepada para muslimah untuk, menggunakan jilbab (pakaian yang menutup seluruh aurat). Secara tegas untuk membedakan antara wanita muslimah dan wanita musyrik, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Hai Nabi katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab : 59)
Namun kita lihat sekarang masih banyak wanita Muslimah di Indonesia khususnya tidak mau memakai jilbab dengan berbagai alasan. Ada yang menganggap kampungan, tidak modis, atau beranggapan bahwa jilbab adalah bagian dari budaya bangsa arab. Ini pertanda bahwa iman mereka belum lulus ujian. Padahal Rasulullah SAW memberikan ancaman kepada para wanita yang tidak mau memakai jilbab dalam sabdanya : “Dua golongan dari ahli neraka yang belum aku lihat, suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, yang dengan cambuk itu mereka memukul manusia, dan wanita yang memakai baju tetapi telanjang berlanggak-lenggok menarik perhatian, kepala-kepala meraka seperti punduk unta, mereka tidak akan masuk surga dan mencium wanginya”. (HR. Muslim). Bersambung.
Yang Kedua, ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan. Seperti yang terjadi pada Nabi Yusus a.s. Ia diuji dengan seorang perempuan cantik. Istri seorang pembesar Mesir yang mengajaknya berzina.
Kesempatan itu sudah sangat terbuka. Tapi ketika keduanya sudah tinggal berdua di rumah dan perempuan itu telah mengunci seluruh pintu. Namun Nabi Yusuf membuktikan kualitas imannya. Ia berhasil meloloskan diri dari godaaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya yang mempunyai hasrat kepada wanita. Ini artinya dia telah lulus dari ujian atas imannya.
Sikap Nabi Yusuf alaihissalam ini perlu kita ikuti. Terutama untuk anak muda muslim di zaman sekarang. Di saaat pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar pelacuran merebah dimana-dimana, minuman keras dan obat-obat terlarang sudah merambah ke berbagai lapisan masyarakat.
Sampai-sampai anak-anak yang duduk di sekolah dasar pun sudah ada yang kecanduan. Perzinaan seakan menjadi bahan biasa bagi anak muda sehingga tidak heran bila menurut sebuah penelitian, bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya enam dari sepuluh remaja putri sudah tidak perawan.
Akibatnya setiap tahun sekitar dua juta bayi dibunuh dengan cara aborsi atau dibunuh beberapa saat setelah anaknya lahir. Keadaan seperti itu diperparahkan dengan berbagai media cetak yang berlomba-lomba memamerkan aurat wanita.
Juga media elektronik dengan acara-acara yang sengaja dirancang untuk membangkitkan gairah seksual para remaja. Pada saat seperti inilah sikap Nabi Yusuf a.s perlu ditanamkan dalam dada pemuda muslim.
Para pemuda muslim harus selalu siap siaga menghadapi godaan demi godaan yang akan mejerumuskan dirinya ke jurang kemaksiatan.
Yang ketiga, ujian yang berbentuk musibah seperti terkena penyakit, ditinggalkan orang yang dicintai, dan sebagainya. Sebagai contoh Nabi Ayub a.s yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat kecuali hatinya. Seluruh hartanya telah habis, tidak tersisa sedikitpun untuk biaya pengobatan penyakitnya dan nafkah istrinya. Seluruh kerabat meninggalkannya, tinggal ia dan istrinya yang setia menemaninya dan mencarikan nafkah untuknya. Musibah ini berjalan selama delapan belas tahun, sampai pada saat yang sangat sulit sekali baginya memelas sambal berdo’a kepada Allah.
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika ia menyeru Tuhannya, sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal 51).
Dan ketika itu Allah memerintahkan Nabi Ayub a.s untuk menghatamkan kakinya ke tanah, kemudian keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air itu. Maka hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar tubuhnya. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal 52). Begitulah ujian Allah kepada Nabi-Nya, masa delapan balas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan perjalanan hidup yang sangat berat, namun di sini Nabi Ayuub a.s membuktikan ketangguhan imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak terbetik pada dirinya untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak dimiliki oleh banyak saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya dengan sekantong beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan hidup yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi Ayub a.s ini.
Yang keempat, ujian lewat tangan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyenangi Islam. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa. Di antaranya apa yang dialami oleh Rasulullah SAW dan di akhir tahun ketujuh kenabian, ketika orang-orang quraisy bersepakat untuk memutuskan hubungan apapun dengan Rasulullah SAW beserta Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku itu bersedia menyerahkan Rasulullah SAW untuk dibunuh. Rasulullah SAW bersama orang-orang yang membelanya terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang hebat. Wallahu'alam
»»  READMORE...

Agar Amalan Kita Diterima di Sisi Allah

Dalam suatu ayat, Allah subhanahu wa ta’ala bercerita tentang keadaan hari kiamat:

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ {1} وُجُوهُُيَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ {2} عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ {3} تَصْلَى نَارًاحَامِيَةً {4} تُسْقَى مِنْ عَيْنٍءَانِيَةٍ {5} لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلاَّ مِن ضَرِيعٍ {6} لاَيُسْمِنُ وَلاَيُغْنِي مِن جُوعٍ

“Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (QS. Al Ghasyiyah: 1-7)

Ayat-ayat tersebut di atas merupakan cerita tentang kondisi sebagian penghuni neraka di hari akhirat nanti. Ternyata bukan semua penghuni neraka adalah orang-orang di dunianya kerjaannya cuma gemar berbuat maksiat, kecanduan narkoba, suka main perempuan dan lain sebagainya. Akan tetapi ternyata ada juga di antara penghuni neraka yang di dunianya rajin beramal, bahkan sampai dia kelelahan saking berat amalannya. Ini tentunya menimbulkan kekhawatiran yang amat besar dalam diri masing-masing kita, jangan-jangan kita termasuk yang sudah beramal banyak tapi nantinya termasuk ke dalam golongan yang disebut oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam awal surat Al Ghasyiyah tersebut di atas.

Jadi, untuk menghilangkan rasa cemas itu, kita perlu mengetahui mengapa orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas sudah beramal tapi malah ganjarannya neraka? Bagaimanakah model amalan mereka?

Dengan mengkaji penjelasan para ulama terhadap ayat ini (Lihat: Majmu’ Al-Fatawa li Syaikhil Islam XVI:217, dan Shaid al-Khatir karya Ibn al-Jauzi I:373) kita bisa mengetahui bahwa ternyata rahasia kesialan mereka adalah karena mereka beramal tapi tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya amalan.

Merujuk kepada dalil-dalil dari Al Quran dan Al Hadits kita bisa menemukan bahwa syarat pokok diterimanya amalan seorang hamba ada dua:

   1. Ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala.
   2. Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dua syarat ini disebutkan dengan jelas dalam akhir surat al-Kahfi:

(فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً)

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seoran gpun dalam beribadat kepada Rabb-nya.” (QS. Al Kahfi: 110)

Oleh karena itu Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Dua hal ini merupakan dua rukun amal yang diterima. (Jadi suatu amalan) harus ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat: Mudzakkirah fil ‘Aqidah, karya Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimy, hal: 9-12).

Mari kita mulai mempelajari bersama, syarat pertama diterimanya suatu amalan, yaitu syarat ikhlas karena Allah ta’ala. Maksudnya adalah: seseorang hanya mengharapkan ridho Allah dari setiap amalannya, bersih dari penyakit riya’ (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak mencari pujian dan balasan melainkan hanya dari-Nya. Pendek kata seluruh amalan yang ia kerjakan hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, dan ini merupakan inti ajaran aqidah yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul. (Lihat: Mudzakkirah fil ‘Aqidah, karya Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimy, hal: 10).

Orang yang tidak mengikhlaskan amalannya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, tidak hanya mengakibatkan amalannya ditolak oleh Allah, tapi juga kelak dia akan disiksa di neraka. Mari kita simak bersama hadits berikut ini:

Suatu hari ketika Syufay al-Ashbahani memasuki kota Madinah, tiba-tiba dia mendapati seseorang yang sedang dikerumuni orang banyak, maka dia pun bertanya, “Siapakah orang ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah Abu Hurairah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Syufay pun mendekat hingga dia duduk di hadapan Abu Hurairah, yang saat itu dia sedang menyampaikan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para hadirin. Ketika selesai dan hadirin telah meninggalkan tempat, Syufay berkata, “Sebutkanlah untukku sebuah hadits yang engkau dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amat engkau hafal dan engkau pahami.” Abu Hurairah menjawab, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amat aku pahami.” Saat Abu Hurairah akan menyebutkan hadits itu tiba-tiba beliau tidak sadarkan diri untuk beberapa saat. Ketika siuman dia kembali berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amat aku pahami.” Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi untuk beberapa saat. Ketika siuman dia kembali berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ini, saat itu kami hanya berdua dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi untuk beberapa saat. Ketika siuman dia mengusap wajahnya dan berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ini, saat itu kami hanya berdua dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi dalam waktu yang cukup panjang, hingga Syafi pun menyandarkan Abu Hurairah ke tubuhnya, sampai beliau siuman. Ketika sadar beliau berkata, “Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku:

إن الله تبارك و تعالى إذا كان يوم القيامة نزل إلى العباد ليقضي بينهم و كل أمة جاثية فأول من يدعو به رجل جمع القرآن ورجل يقتل في سبيل الله ورجل كثير مال فيقول للقارىء: ألم أعلمك ما أنزلت على رسولي ؟ قال: بلى يا رب, قال: فماذا عملت فيما علمت؟, قال: كنت أقوم به أثناء الليل و آناء النهار, فيقول الله له: كذبت, وتقول الملائكة: كذبت, ويقول الله: بل أردت أن يقال: فلان قارىء فقد قيل. ويؤتى بصاحب المال فيقول الله: ألم أوسع عليك حتى لم أدعك تحتاج إلى أحد؟, قال: بلى, قال: فماذا عملت فيما آتيتك؟, قال: كنت أصل الرحم و أتصدق, فيقول الله: كذبت, وتقول الملائكة: كذبت, فيقول الله: بل أردت أن يقال فلان جواد فقد قيل ذاك. ويؤتى بالذي قتل في سبيل الله فيقال له: فيم قتلت؟, فيقول: أمرت بالجهاد في سبيلك فقاتلت حتى قتلت, فيقول الله: كذبت, وتقول الملائكة: كذبت, و يقول الله عز و جل له: بل أردت أن يقال فلان جريء فقد قيل ذلك, ثم ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم على ركبتي فقال: يا أبا هريرة أولئك الثلاثة أول خلق الله تسعر بهم النار يوم القيامة

“Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah subhanahu wa ta’ala akan turun kepada para hamba-Nya untuk mengadili mereka, dan saat itu masing-masing dari mereka dalam keadaan berlutut. Lantas yang pertama kali dipanggil oleh-Nya (tiga orang): Seorang yang rajin membaca Al Quran, orang yang berperang di jalan Allah dan orang yang hartanya banyak. Maka Allah pun berkata kepada si Qori’, ‘Bukankah Aku telah mengajarkan padamu apa yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku?’ Si Qori’ menjawab, ‘Benar ya Allah.’ Allah kembali bertanya, ‘Lantas apa yang telah engkau amalkan dengan ilmu yang engkau miliki?’ Si Qori menjawab, ‘Aku (pergunakan ayat-ayat Al Quran) yang kupunyai untuk dibaca dalam shalat di siang maupun malam hari,’ serta merta Allah berkata, ‘Engkau telah berdusta!’ Para malaikat juga berkata, ‘Engkau dusta!’ Lantas Allah berfirman, ‘Akan tetapi (engkau membaca Al Quran) agar supaya engkau disebut-sebut qori’! Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia).’ Kemudian didatangkanlah seorang yang kaya raya, lantas Allah berfirman padanya, ‘Bukankah telah Kuluaskan (rizki)mu hingga engkau tidak lagi membutuhkan kepada seseorang?” Dia menyahut, ‘Betul.’ Allah kembali bertanya, ‘Lantas engkau gunakan untuk apa (harta) yang telah Kuberikan padamu?’ Si kaya menjawab, ‘(Harta itu) aku gunakan untuk silaturrahmi dan bersedekah.’ Serta merta Allah berkata, ‘Engkau dusta!’ Para malaikat juga berkata, ‘Engkau dusta!’ Lalu Allah berfirman, ‘Akan tetapi engkau ingin agar dikatakan sebagai orang yang dermawan! Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia).’ Lantas didatangkan orang yang berperang di jalan Allah, kemudian dikatakan padanya, ‘Apa tujuanmu berperang?’ Orang itu menjawab, ‘(Karena) Engkau memerintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, maka aku pun berperang hingga aku terbunuh (di medan perang).’ Serta merta Allah berkata, ‘Engkau dusta!’ Para malaikat juga berkata, ‘Engkau dusta!’ Lalu Allah berfirman, ‘Akan tetap engkau ingin agar dikatakan engkau adalah si pemberani! Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia).’ Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk lututku sambil berkata, ‘Wahai Abu Hurairah, mereka bertiga adalah makhluk Allah yang pertama kali yang dikobarkan dengannya api neraka di hari kiamat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya IV:115, no: 2482, Ibnu Hibban juga dalam kitab Shahih-nya II:135, no: 408. Al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/415 berkata, “Isnadnya shahih” dan disepakati oleh adz-Dzahaby dan Al Albani)

Meskipun masing-masing dari mereka bertiga memiliki amalan yang banyak, akan tetapi justru dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka pertama kali, itu semua gara-gara amalan mereka tidak ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang dikaruniai Allah keikhlasan dalam setiap amalan. Amien.

Berhubung ibadah haji juga merupakan suatu amalan shalih yang sangat agung, bahkan merupakan rukun Islam yang kelima, maka kita pun dituntut untuk ikhlas dalam mengamalkannya, semata-mata mengharap ridho Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini perlu untuk senantiasa ditekankan, karena diakui atau tidak, masih ada, atau bahkan mungkin masih banyak orang-orang yang berangkat haji dengan niat yang dicemari oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Ada dari mereka yang berhaji supaya setelah pulang nanti dipanggil pak haji atau bu haji, hingga jika suatu saat ada tetangga yang lupa ketika memanggil dengan tidak menyebutkan pak haji, dia pun tidak mau menoleh. Ada yang berhaji dengan tujuan untuk memperlancar rencana dia untuk meraih kursi di pemerintahan. Ada yang berhaji dengan tujuan agar disegani oleh rekan bisnisnya, dan masih banyak tujuan-tujuan duniawi lain yang bisa mengotori niat ibadah haji seseorang. Kalau kotoran-kotoran tersebut tidak segera kita bersihkan dari diri kita maka niscaya usaha kita menabung puluhan tahun agar bisa berhaji akan sia-sia!. Kita hanya akan pulang dengan membawa rasa penat dan letih! Kita hanya akan pulang dengan tangan hampa! Dan yang lebih menyedihkan dari itu semua, apa yang Allah ceritakan di dalam ayat di bawah ini:

(وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُوراً)

“Dan Kami datang kepada amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al Furqan: 23)

Maka, jika ada di antara kita yang masih mengotori niatnya dalam berhaji dengan kotoran-kotoran duniawi, mari kita bersihkan kotoran-kotoran tersebut dari sekarang agar kelak kita tidak menyesal. Juga kita berusaha mempelajari nilai-nilai keimanan yang terkandung di dalam ibadah haji kita, agar ibadah yang agung ini tidak terasa hambar, dan agar ibadah haji yang kita kerjakan ini semakin memperkuat akidah kita.

Sepengetahuan kami, buku terbaik yang ditulis untuk mengungkap rahasia keterkaitan ibadah haji dengan fondasi agama Islam, yakni akidah, adalah buku yang berjudul “Pancaran Nilai-Nilai Keimanan dalam Ibadah Haji” (Judul aslinya dalam bahasa Arab, “Durus ‘Aqadiyah Mustafadah Minal Hajj”, yang kemudian diterjemahkan dan diringkas lalu kami beri judul dengan judul di atas), yang ditulis oleh Syaikh. Prof. Dr. Abdurrozaq bin Abdul Muhsin al-’Abbad al-Badr, salah seorang dosen pasca sarjana di Universitas Islam Madinah. Maka kami melihat bahwa seharusnya setiap jamaah haji berusaha untuk membaca buku ini sebelum berhaji, agar dia bisa berhaji dengan mantap.

Adapun syarat yang kedua agar amalan kita diterima adalah: Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya: Amalan yang kita kerjakan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala harus sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Allah dan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab agama kita yang mulia ini telah disempurnakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memejamkan kedua matanya untuk selama-lamanya. Maka agama kita ini sama sekali tidak membutuhkan kepada seseorang untuk menambah sesuatu ke dalamnya, ataupun menguranginya.

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً

“Pada hari ini telah telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maaidah: 3)

Banyak sekali ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan kita untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan kita agar tidak membuat hal-hal yang baru dalam agama, yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah hendaklah kalian mengikutiku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي, عضوا عليها بالنواجذ, وإياكم ومحدثات الأمور, فإن كل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة في النار

“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunnah para khalifah ar-rasyidin (yang diberi petunjuk) sesudahku, gigitlah dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah dari setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka.” (HR. At-Tirmidzi IV:149 dan Ibnu Majah II:1025)

Dalam hadits lain Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. متفق عليه

“Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru di dalam perkara (agama) ini yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Bukhari III:241 dan Muslim V:132)

Ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut di atas telah menegaskan akan wajibnya mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal. Barang siapa yang beramal tidak sesuai dengan tuntunan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amalannya akan ditolak alias tidak diterima, meskipun amalannya besar, meskipun amalan itu telah membudaya di kalangan kaum muslimin ataupun amalan tersebut kelihatannya menurut kaca mata sebagian orang baik. Pendek kata yang harus dijadikan barometer untuk menilai baik tidaknya suatu amalan bukanlah akal manusia, akan tetapi setiap amalan harus di timbang dengan timbangan syariat; Al Quran dan Al Hadits. Apa yang sesuai dengan keduanya kita kerjakan, dan apa yang tidak sesuai kita tinggalkan. Inilah jalan seorang muslim yang sejati.

Di zaman kita ini telah menjamur di kalangan sebagian masyarakat amalan-amalan yang dianggap ibadah, padahal sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya. Apakah mereka lebih paham tentang agama Islam daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya? Ataukah mereka telah memiliki tuntunan yang berbeda dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya?

Maka marilah mulai detik ini kita kembali mengoreksi amalan-amalan yang selama ini kita kerjakan, sudahkah amalan kita sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sudahkah kita mempelajari bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat? Sudahkah kita mempelajari bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhaji? Ketahuilah bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan,

خذوا عنى مناسككم

“Ambillah oleh kalian manasik haji dariku.” (HR. Muslim no: 1297)

Berkaitan dengan masalah sholat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

صلوا كما رأيتموني أصلي

“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.” (HR. Bukhari no: 631)

Dengan merealisasikan dua syarat ini yakni ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya amalan kita akan diterima, dan kita akan termasuk golongan yang diceritakan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

وُجُوهُُيَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ . لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ . فيِ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ

“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, mereka senang karena amalannya, dalam surga yang tinggi.” (QS. Al Ghasyiyah: 8-10)

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallah u ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in
»»  READMORE...

 

Sepatah Kata

Selamat datang dan bergabung sahabat. Jazakallah khoir atas kunjungan sahabat.. Blog ini merupakan ungkapan murni hati ane sendiri tanpa melihat ide dan pikiran orang lain. Semuanya mengalir seperti air, semuanya adalah ekspresi diri, semuanya adalah Selengkapnya

Sepintas Tentang Penulis

Kehidupan manusia dipenuhi oleh banyak peristiwa cinta, senyum, kegembiraan, keceriaan, persahabatan, kebencian,kegalauan, kesedihan, kemurungan, permusuhan Selengkapnya

Info