Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan

Cinta, Oh… Cinta

Cinta, sebuah kata yang mampu menggetarkan hati setiap manusia. Dengan alasan cinta pula, sepasang pemuda pemudi yang sedang dimabuk cinta sampai menerjang larangan Allah dengan berduaan, bahkan sampai berzina. Mereka lupa, bahwa di sana ada sebuah cinta yang merupakan puncak kebahagiaan bagi seorang hamba dalam kehidupannya.
Cintaku Hanya Untuk Allah
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, kebaikan bagi seorang hamba yang paling besar ialah jika dia mampu mengalihkan semua kekuatan cintanya kepada Allah semata. Sehingga dia mencintai Allah dengan segenap hati, jiwa dan raganya. Cinta seperti inilah yang menjadi tujuan kebahagiaan manusia dan puncak kenikmatannya. Hatinya tidak merasa memiliki kenikmatan kecuali menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai yang paling dicintai daripada yang lain, termasuk dirinya sendiri. Sehingga apabila dia disuruh memilih antara kekufuran atau dilemparkan ke dalam api, tentu dia akan memilih dilemparkan ke dalam api.
Seorang hamba seperti ini, tidaklah mencintai kecuali karena Allah semata. Dengan cinta inilah dia akan mendapatkan manisnya iman dalam hatinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Ada tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang, maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu, dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan dia tidak mencintainya melainkan karena Allah. Dia enggan kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Cinta seperti ini tidak bisa dibandingkan dengan cinta kepada manusia, siapa pun dia. Karena ini merupakan cinta yang menuntut pelakunya untuk mendahulukan siapa yang dicintai (Allah) daripada cintanya kepada nyawa, harta, dan anak-anaknya, serta menuntut kesempurnaan ketundukan, kepatuhan, pengagungan, penghambaan, dan ketaatan lahir maupun batin.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyekutukan Allah dengan yang lain dalam cinta yang khusus ini, maka dia adalah orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cinta kepada Allah” (QS. Al Baqarah : 165).
Benarkah Kita Mencintai Allah?
Jika kita bertanya kepada seseorang, apakah dia mencintai Allah? Maka tentu banyak yang mengaku bahwa mereka mencintai Allah. Namun, benarkah pengakuannya itu? Apakah hanya sekedar klaim semata? Apa buktinya bahwa kita benar-benar mencintai Allah?
Jika kita mencintai Allah, maka seluruh cinta kita akan tergantung kepada apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Kita tentu akan mencintai Al Qur’an. Hati kita jatuh cinta kepada makna-maknanya. Seberapa jauh cinta seseorang kepada Allah, sejauh itu pula cintanya kepada kalam-Nya. Namun sayang, banyak kita jumpai orang-orang yang mengaku mencintai Allah, namun lebih senang mendengarkan nyanyian-nyanyian setan daripada mendengarkan bacaan Al Qur’an. Mereka lebih suka menghafal lagu-lagu barat daripada menghafal Al Qur’an. Mereka malah menghabiskan waktu untuk mendatangi konser-konser musik daripada mendatangi majelis taklim yang mengajarkan Al Qur’an. Inikah bukti cinta kepada Allah??!
Jika kita mencintai Allah, tentu kita akan banyak mengingat-Nya, baik dengan hati maupun lisan kita. Oleh karena itu, Allah memerintahkan hamba-hambaNya agar mengingat-Nya dalam setiap keadaan, meskipun sedang berperang. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka teguhkanlah hati kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung” (QS. Al-Anfal : 45). Sudahkah kita melaksanakan perintah ini??!
Jika kita mencintai Allah, maka kita pun tunduk dan patuh dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketika cinta dan ketundukan kepada Allah sudah mengakar dalam hati, maka muncullah sikap penghambaan kepada Allah semata. Tidaklah kita beribadah kecuali hanya untuk Allah semata. Kita pun harus berusaha menjauhi perbuatan syirik dan membenci orang-orang yang berbuat syirik.
Jalan untuk Mencintai Allah
Mengingat besarnya kedudukan cinta kepada Allah Ta’ala, maka Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan beberapa sebab yang dapat menghantarkan seseorang untuk benar-benar mencintai Allah Ta’ala. Sebab-sebab tersebut adalah:
Pertama, membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dicapai dengan membaca kitab-kitab yang menjelaskan kandungannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib.
Ketiga, terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, dengan hati, lisan, dan amal perbuatannya. Dia akan meraih rasa cinta kepada Allah sesuai dengan kadar dzikirnya kepada Allah.
Keempat, lebih mendahulukan cintanya kepada Allah daripada cintanya kepada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya.
Kelima, merenungi kebesaran nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Keenam, mengingat nikmat dan karunia Allah yang telah Allah berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin.
Ketujuh, menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.
Kedelapan, menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke dunia pada sepertiga malam yang terakhir, beribadah, dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya. Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.
Kesembilan, duduk di majelis yang di dalamnya terdapat perkataan yang bermanfaat.
Kesepuluh, menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta’ala. (Madaarijus Saalikiin)
Ujian Bagi yang Mengaku Mencintai Allah
Karena begitu banyaknya orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka, apakah mereka benar-benar jujur dengan pengakuannya itu. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Katakanlah,’Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’” (QS. Ali Imran : 31).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa klaim mereka (orang-orang musyrik) tentang kedudukan yang tinggi ini, tidaklah cukup dengan klaim semata. Akan tetapi, harus dilandasi dengan kejujuran. Dan tanda kejujuran tersebut adalah mengikuti Rasulullah dalam ucapan dan perbuatannya, dalam pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, baik lahir maupun batin. Maka barangsiapa yang mengikuti Rasulullah, hal itu menunjukkan benarnya klaim kecintaan mereka kepada Allah. Allah pun akan mencintai mereka, mengampuni dosa-dosa mereka, dan merahmati mereka. Dan barangsiapa yang tidak mengikuti Rasulullah, maka berarti mereka tidaklah mencintai Allah. Sedangkan klaim mereka itu hanyalah klaim dusta semata. (Taisir Karimir Rohmaan)
Sungguh banyak kita jumpai di zaman ini, orang-orang yang mengaku mencintai Allah, namun beribadah dengan cara-cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka memperbanyak dzikir dengan dzikir-dzikir yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada pula yang memperbanyak shalat dan puasa dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akibatnya, bukannya kecintaan dan pengampunan dosa dari Allah yang mereka dapatkan, akan tetapi yang mereka dapatkan justru kecintaan setan beserta pengikutnya dan terancam masuk neraka.
Obat Bagi yang Sedang Jatuh Cinta
Mencintai lawan jenis (wanita) merupakan sebuah kewajaran, sebagaimana Rasulullah juga demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Kesenanganku dijadikan di dalam shalat. Dan aku dijadikan menyenangi wanita serta wewangian” (HR. Muslim). Namun, laki-laki diciptakan dalam keadaan lemah ketika menghadapi fitnah wanita. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisaa’ : 28). Ats-Tsaury rahimahullah berkata, ”Maksudnya adalah tidak sabar dalam menghadapi wanita” (Roudhotul Muhibbin).
Allah telah menciptakan obat penawar bagi setiap penyakit dan memudahkan cara untuk mendapatkan obat itu. Barangsiapa yang ingin berobat dengan syari’at Allah, tentu dia akan memperoleh kesembuhan. Sedangkan barangsiapa yang mencari obat dengan sesuatu yang dilarang syari’at, maka dia seperti mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain yang lebih berbahaya.
Syari’at agama Islam yang mulia ini telah menjadikan pernikahan sebagai obat bagi sepasang insan yang saling mencintai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah oleh) orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan” (HR. Ibnu Majah dengan sanad shohih). Demikianlah obat penawar bagi fitnah yang tengah melanda di hati sepasang kekasih yang saling mencintai. Allah tidaklah menjadikan pacaran dengan berduaan, peluk-pelukan, cium-ciuman, atau jalan berdua sebagai obat. Bahkan semua ini merupakan sarana menuju zina yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang cinta, semoga Allah memberikan taufik kepada kita sehingga kita benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya, dengan demikian Allah pun akan mencintai kita. Amiin.
»»  READMORE...

Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran

Cinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga. Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang rahmatan lil ‘alamin. Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i? Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran. Berikut adalah beberapa tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.
Ajaran Islam Melarang Mendekati Zina
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)
Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang. Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.”
Dilihat dari perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang.
Islam Memerintahkan untuk Menundukkan Pandangan
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada laki–laki yang beriman : ”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24]: 30 )
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman, “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24]: 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahromnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, ”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahromnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.”
Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis?
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Faedah dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An Nur ayat 30 (yang artinya) “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” yaitu dengan menundukkan pandangan akan lebih membersihkan hati dan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir –semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat ini. –Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan sehingga hati dan agama kita selalu terjaga kesuciannya-
Agama Islam Melarang Berduaan dengan Lawan Jenis
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)
Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Termasuk yang Dilarang
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul “apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram”. (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i)
Meninjau Fenomena Pacaran
Setelah pemaparan kami di atas, jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini pasti ada perbuatan-perbuatan yang dilarang di atas. Kita dapat melihat bahwa bentuk pacaran bisa mendekati zina. Semula diawali dengan pandangan mata terlebih dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati. Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan dengan ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. –Naudzu billahi min dzalik-. Lalu pintu mana lagi paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!
Mungkinkah ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini!
Mustahil Ada Pacaran Islami
Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.
Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggak di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlalu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.
Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah
Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam Islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan
»»  READMORE...

 

Sepatah Kata

Selamat datang dan bergabung sahabat. Jazakallah khoir atas kunjungan sahabat.. Blog ini merupakan ungkapan murni hati ane sendiri tanpa melihat ide dan pikiran orang lain. Semuanya mengalir seperti air, semuanya adalah ekspresi diri, semuanya adalah Selengkapnya

Sepintas Tentang Penulis

Kehidupan manusia dipenuhi oleh banyak peristiwa cinta, senyum, kegembiraan, keceriaan, persahabatan, kebencian,kegalauan, kesedihan, kemurungan, permusuhan Selengkapnya

Info