Oleh : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
- Golongan Yang Selamat jumlahnya sangat sedikit di tengah banyaknya Umat Manusia .Tentang keadaan mereka, Rasulullah bersabda,
“Keuntungan besar bagi orang-orang yang asing. Yaitu orang-orang shalih di lingkungan orang banyak yang berperangai buruk, orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada orang yang menta’atinya.” (HR. Ahmad, hadits shahih)
Dalam Al-Qur’anul Karim, Allah memuji mereka dengan firman-Nya,
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (Saba’: 13)
- Golongan Yang Selamat banyak dimusuhi oleh manusia, difitnah dan dilecehkan dengan gelar dan sebutan yang buruk.Nasib mereka seperti nasib para nabi yang dijelaskan dalam firman Allah,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Rasulullah misalnya, ketika mengajak kepada tauhid, oleh kaumnya beliau dijuluki sebagai “tukang sihir lagi sombong”. Padahal sebelumnya mereka memberi beliau julukan “ash-shadiqul amin”, yang jujur dan dapat dipercaya.
- Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang Golongan Yang Selamat, beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang salaf dan setiap orang yang mengikuti jalan para salafush shalih (Rasulullah, para sahabat dan setiap orang yang mengikuti jalan petunjuk mereka).”Hal-hal di atas adalah sebagian dari manhaj dan tanda-tanda Golongan Yang Selamat. Pada pasal-pasal berikut akan dibahas masalah akidah Golongan Yang Selamat yaitu golongan yang mendapat pertolongan. Semoga kita termasuk mereka yang berakidah Firqah Najiyah (Golongan Yang Selamat) ini, Amin.
THA’IFAH MANSHURAH
(KELOMPOK YANG MENDAPAT PERTOLONGAN)
- Rasulullah bersabda,“Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghina-kan mereka, sehingga datang keputusan Allah.” (HR. Muslim)
- Rasulullah bersabda,“Jika penduduk Syam telah rusak, maka tak ada lagi kebaikan di antara kalian. Dan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang mendapat pertolongan, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka, sehingga datang hari Kiamat.” (HR. Ah-mad, hadits shahih)
- Ibnu Mubarak berkata, “Menurutku, mereka adalah ashha-bul hadits (para ahli hadits).”
- Imam Al-Bukhari menjelaskan, “Menurut Ali bin Madini mereka adalah ashhabul hadits.”
- Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Jika kelompok yang mendapat pertolongan itu bukan ashhabul hadits maka aku tidak mengetahui lagi siapa sebenarnya mereka.”
- Imam Syafi’i berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Engkau lebih tahu tentang hadits daripada aku. Bila sampai kepadamu hadits yang shahih maka beritahukanlah padaku, sehingga aku bermadzhab dengannya, baik ia (madzhab) Hejaz, Kufah maupun Bashrah.”
- Dengan spesialisasi studi dan pendalamannya di bidang sunnah serta hal-hal yang berkaitan dengannya, menjadikan para ahli hadits sebagai orang yang paling memahami tentang sunnah Nabi r, petunjuk, akhlak, peperangannya dan berbagai hal yang berkaitan dengan sunnah.
MACAM-MACAM TAUHID
- TAUHID RUBUBIYAHYaitu pengakuan bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan dan Maha Pencipta. Orang-orang kafir pun mengakui macam tauhid ini. Tetapi pengakuan tersebut tidak menjadikan mereka tergolong sebagai orang Islam. Allah berfirman,
- “Dan sungguh, jika Kamu bertanya hepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka’, niscaya mereka menjawab,’Allah’.” (Az-Zukhruf: 87)Berbeda dengan orang-orang komunis, mereka mengingkari ke-beradaan Tuhan. Dengan demikian, mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah.
- TAUHID ULUHIYAHYaitu mengesakan Allah dengan melakukan berbagai macam ibadah yang disyari’atkan. Seperti berdo’a, memohon pertolongan kepada Allah, thawaf, menyembelih binatang kurban, bernadzar dan berbagai ibadah lainnya.
Macam tauhid inilah yang diingkari oleh orang-orang kafir. Dan ia pula yang menjadi sebab perseteruan dan pertentangan antara umat-umat terdahulu dengan para rasul mereka, sejak Nabi Nuh alihissalam hingga diutusnya Nabi Muhammad .
Dalam banyak suratnya, Al-Qur’anul Karim sering memberikan anjuran soal tauhid uluhiyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdo’a dan meminta hajat khusus kepada Allah semata.
Dalam surat Al-Fatihah misalnya, Allah berfirman,
“Hanya Kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah Kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Maksudnya, khusus kepadaMu (ya Allah) kami beribadah, hanya kepadaMu semata kami berdo’a dan kami sama sekali tidak memohon pertolongan kepada selainMu.
Tauhid uluhiyah ini mencakup masalah berdo’a semata-mata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-Qur’an, dan tunduk berhukum kepada syari’at Allah. Semua itu terangkum dalam firman Allah,
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku.” (Thaha: 14)
- TAUHID ASMA’ WA SHIFATYaitu beriman terhadap segala apa yang terkandung dalam Al-Qur’anul Karim dan hadits shahih tentang sifat-sifat Allah yang berasal dari penyifatan Allah atas DzatNya atau penyifatan Rasulullah .
Beriman kepada sifat-sifat Allah tersebut harus secara benar, tanpa ta’wil (penafsiran), tahrif (penyimpangan), takyif (visualisasi, penggambaran), ta’thil (pembatalan, penafian), tamtsil (penyerupaan), tafwidh (penyerahan, seperti yang.banyak dipahami oleh manusia) .
Misalnya tentang sifat al-istiwa ‘ (bersemayam di atas), an-nuzul (turun), al-yad (tangan), al-maji’ (kedatangan) dan sifat-sifat lainnya, kita menerangkan semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-istiwa’ misalnya, menurut keterangan para tabi’in sebagaimana yang ada dalam Shahih Bukhari berarti al-’uluw wal irtifa’ (tinggi dan berada di atas) sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah . Allah berfirman,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)
Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah secara benar adalah dengan tanpa hal-hal berikut ini:
- Tahrif (penyimpangan): Memalingkan dan menyimpangkan zhahir-nya (makna yang jelas tertangkap) ayat dan hadits-hadits shahih pada makna lain yang batil dan salah. Seperti istawa (bersema-yam di tempat yang tinggi) diartikan istaula (menguasai).
- Ta’thil (pembatalan, penafian): Mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada di atas langit, sebagian ke-lompok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat.
- Takyif (visualisasi, penggambaran): Menvisualisasikan sifat-sifat Allah. Misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy itu begini dan begini. Bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy tidak serupa dengan bersemayamnya para makhluk, dan tak seorang pun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah semata.
- Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat-sifat Allah de-ngan sifat-sifat makhlukNya. Karena itu kita tidak boleh mengatakan, “Allah turun ke langit, sebagaimana turun kami ini”. Hadits tentang nuzul-nya Allah (turunnya Allah) ada dalam riwayat Imam Muslim.
Sebagian orang menisbatkan tasybih (penyerupaan) nuzul ini kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini adalah bohong besar. Kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam kitab-kitab beliau, justru sebaliknya, yang kami temukan adalah pendapat beliau yang mena-fikan tamtsil dan tasybih.
- Tafwidh (penyerahan): Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif (hal, keadaan) tidak pada maknanya. Al-Istiwa’ misalnya berarti al-’uluw (ketinggian), yang tak seorang pun mengetahui bagai-mana dan seberapa ketinggian tersebut kecuali hanya Allah.
- Tafwidh (penyerahan): Menurut Mufawwidhah (orang-orang yang menganut paham tafwidh) adalah dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang diterangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah x, Rabi’ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua se-pendapat bahwa, “Istiwa’ (bersemayam di atas) itu jelas pengertian-nya, bagaimana cara/keadaannya itu tidak diketahui, iman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”
-
MAKNA LAA ILAAHA ILALLAH (TIADA TUHAN YANG BERHAK DISEMBAH MELAINKAN ALLAH)
- Allah berfirman:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Mengetahui makna laa ilaaha illallah adalah wajib dan harus didahulukan dari seluruh rukun yang lainnya.
- Nabi bersabda:“Barangsiapa mengucaphan laa ilaaha illallah dengan Keikh-lasan hati, pasti ia masuk Surga.” (HR. Ahmad, hadits shahih)
Orang yang ikhlas ialah yang memahami laa ilaaha illallah, mengamalkannya, dan menyeru kepadanya sebelum menyeru kepada yang lainnya. Sebab kalimat ini mengandung tauhid (pengesaan Allah), yang karenanya Allah menciptakan alam semesta ini.
- Rasulullah menyeru pamannya Abu Thalib ketika menjelang ajal,“Wahai pamanku, katakanlah, ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), seuntai kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allah, maka ia (Abu Thalib) enggan mengucapkan laa ilaaha illallah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Rasulullah tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau mengajak (menyeru) bangsa Arab: “Katakanlah, ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), maka mereka menjawab: ‘Hanya satu tuhan, kami belum pernah mendengar seruan seperti ini?’ Demikian itu, karena bangsa Arab memahami makna kalimat ini. Sesungguhnya barangsiapa mengucapkannya, niscaya ia tidak menyembah selain Allah. Maka mereka meninggalkannya dan tidak mengucapkannya. Allah I berfirman kepada mereka:“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mere-ka, ‘Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)’, mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sem-bahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? ‘Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)’.” (Ash-Shaffat: 35-37)
Dan Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) dan mengingkari sesua-tu yang disembah selain Allah, maka haram hartanya dan darah-nya (dirampas/diambil).” (HR. Muslim)
Makna hadits tersebut, bahwasanya mengucapkan syahadat me-wajibkan ia mengkufuri dan mengingkari setiap peribadatan kepada selain Allah, seperti berdo’a (memohon) kepada mayit, dan lain-lain-nya.
Ironisnya, sebagian orang-orang Islam sering mengucapkan syahadat dengan lisan-lisan mereka, tetapi mereka menyelisihi maknanya dengan perbuatan-perbuatan dan permohonan mereka kepada selain Allah.
- Laa ilaaha illallah adalah asas (pondasi) tauhid dan Islam, pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi dengan mempersembahkan setiap jenis ibadah untuk Allah. Demikian itu, apabila seorang muslim telah tunduk kepada Allah, memohon kepa-daNya, dan menjadikan syari’atNya sebagai hukum, bukan yang lain-nya.
- Ibnu Rajab berkata: “Al-Ilaah (Tuhan) ialah Dzat yang dita’ati dan tidak dimaksiati, dengan rasa cemas, pengagungan, cinta, takut, pengharapan, tawakkal, meminta, dan berdo’a (memohon) ke-padaNya. Ini semua tidak selayaknya (diberikan) kecuali untuk Allah . Maka barangsiapa menyekutukan makhluk di dalam sesuatu per-kara ini, yang ia merupakan kekhususan-kekhususan Allah, maka hal itu akan merusak kemurnian ucapan laa ilaaha illallah dan mengan-dung penghambaan diri terhadap makhluk tersebut sebatas perbuatannya itu.
- Sesungguhnya kalimat “Laa ilaaha illallah” itu dapat bermanfaat bagi yang mengucapkannya, bila ia tidak membatalkannya dengan suatu kesyirikan, sebagaimana hadats dapat membatalkan wudhu seseorang.
Rasulullah bersabda:”Barangsiapa yang akhir ucapannya laa ilaaha illallah, pasti ia masuk Surga.” (HR. Hakim, hadits hasan)
Para Komentator :
Posting Komentar